Ibu Bumi
Karya: rodli tl.
Sinopsis
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.
Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.
Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.
Setting
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.
Tokoh
- Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
- Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
- Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
- Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
- Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
- Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
- Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.
Ibu Bumi
Karya: rodli tl.
Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit
Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.
Hening
Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. ia menari dengan menggendong bayi
Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya.
Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.
- Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari
Jiwamu akan tenang bersama ibu.
Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-
akar tumbuhan
Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol
Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.
- Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)
Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman
- Sia : Ibuku, kau adalah bumi
Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi
Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu
Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan
Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.
- Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!
- Manto : Kenapa mesti berhenti?
- Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
- Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
- Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
- Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau
hujan mulai reda
- Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu
bumi dan berayah matahari
Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.
Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti
- Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti
bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita
- Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut
datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil,
ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak
adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.
Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.
- Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang
ia harus dihibur dalam hujan
jangan biarkan mendung terus menebal
kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan
- Mata : Tapi hujan telah berhenti
- Manto : Apa, hujan telah berhenti?
Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata
ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya
- Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.
Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya
- Mata : Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa
bila ada satu bagian dari kita yang duka
- Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
- Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian
ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya
- Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu
apabila melihat buah hatinya bahagia
- Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu
menderita
- Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka
dan duka kita harus berbagi bersama
Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.
- ibu : Menyanyilah anak-anaku!
Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair
keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa.
Kalian yang membuatku hidup penuh harap,
berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.
Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih.Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya
- Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!
Jangan tinggalkan kami ibu………..!
Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.
- Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!
Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya
bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.
Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.
Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik
- Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
- Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
- Mata : Apa, gara-gara aku?
- Manto : Ya, gara-gara kamu!
- Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
- Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?
Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.
- Mata : Gara-gara kamu!
- Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
- Mata : Gara-gara kamu
- Manto : Mukamu!
- Mata : Kamu!
- Manto : Mukamu!
- Mata : Kamu!
- Mata : Mukamu!
Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan
Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian
- Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu.
Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang.
Sia melantunkan nyanyian sedih
- Sia :
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu
- Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.
Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah
pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita
harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.
Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari
Pagi harinya mereka tertidur lelap.
Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.
- Sia :
Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan
Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.
- Mata : Ibu, kau datang ibu
- Manto : Ya ibu, aku rindu
- Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
- Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
- Ovan : Ayo kita pulang ibu
Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya
- Sia : Ibu masih belum kita temukan
- Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
- Manto : Ya, ia melantunkan tembang
yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita
- Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
- Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk
membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun
dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh
merindukan ibu. (melamun)
- Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan
perjalanan
- Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita
berpencar
- Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat
Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah
dan bertemu
- Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa
penjuru yang berbeda.
Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.
Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.
- Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
- Mata : Ini wilayahku
- Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
- Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam
perjalanan
- Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian,
sehingga kau kini berada di wilayaku
- Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
- Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini
daerah kekuasaanku
- Mata : Arah mata anginku
Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.
Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.
- Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?
Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.
- Mata : Kenapa kalian semua kemari
- Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
- Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku,
kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti
diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan
pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing.
Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari
pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti
diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok
dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.
- Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku
lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di
perempatan-perempatan.
- Bang : Sama, aku juga menemukannya
- Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti
diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah
kita
- Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
- Mata : Maksud kamu?
- Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena
aku mengenal betul wajah ibu.
- Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
- Manto : Maksud kamu?
- Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah
Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-
perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu
kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih
sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat
tinggal anak-anaknya.
- Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
- Mata : Maksud kamu?
- Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah
ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa
bukan ketololan juga?
- Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha
membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang
hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi,
ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar
dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim
karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari
yang ia tolak.
- Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan
tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-
jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang
berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan
tempat sampah. Terus terang aja, iri lantaran tidak punya
kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.
- Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah
matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu
tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-
anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah
mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk
menggapai keinginannya.
- Ovan : Hentikan!......... hentikan semua omong kosong itu!
Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan
amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah,
telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu.
Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar
kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih
lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan
fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut.
(berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku
muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!
Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris
- Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-
saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”
kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.
- Sia:
Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga d itelapak kakimu
Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.
TAMAT
Lamongan, Januari 2009
0 komentar:
Posting Komentar